Saat ini, ungu mungkin bukanlah warna yang istimewa. Baju, kasut, aksesori, bahkan gadget berwarna ungu, semuanya mudah ditemui. Bahkan mungkin kamu ada kawan yang sangat tergila-gila dengan warna ungu dan seringkali menggunakan pakaian berwarna ungu dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Tapi di zaman dahulu, warna ungu adalah warna yang sangat istimewa. Harga dari pewarna ungu sangat mahal dan kalaupun punya wang untuk membeli pewarna ungu, belum tentu kamu masuk golongan orang-orang yang boleh menggunakan warna ungu.
Sejak zaman kerajaan, Romawi, Mesir, dan Persia, ungu adalah warna yang berhubungan dengan keluarga kerajaan. Warna ungu juga berhubungan dengan spiritualitas dan kesucian, sehingga kaisar, raja, dan ratu yang menggunakan warna ungu dianggap sebagai keturunan atau bahkan jelmaan para dewa.
Di Inggris pada Zaman Elizabeth, masa yang diperintah oleh Ratu Elizabeth pada tahun 1558 hingga 1603, sebuah hukum yang disebut Sumptuary Laws mengatur penggunaan warna, karena tidak semua warna bisa digunakan oleh semua orang.
Emas, perak, merah krimson, biru indigo, violet, bahkan putih dan hitam murni, hanya boleh digunakan oleh para bangsawan.
Sementara itu, warna ungu ternyata memiliki darjat yang lebih tinggi lagi. Hanya raja, ratu, Ibu Suri, anak, saudara perempuan dari ratu, saudara laki-laki dari raja, bibi dari ratu, dan paman dari raja yang diperbolehkan untuk memakai warna ungu.
Alasan Ungu Mahal di Masa Lalu
Mengapa warna ungu sangat jarang ditemui, mahal, dan hanya boleh digunakan oleh orang-orang tertentu?
Hal ini karena pada zaman dahulu, pewarna sintetis dari bahan kimia belum ada. Untuk mewarnai kain ataupun untuk cat lukis, warna didapatkan dari pigmen alami, baik itu, tumbuhan, dari hewan, bahkan dari logam.
Misalnya dari tanaman yang bernama Indigofera tinctoria, bisa didapatkan warna biru indigo, dari serangga kermes bisa dihasilkan warna merah, sementara batu lapis lazuli bisa menghasilkan warna biru gelap.
Semakin jarang dijumpai bahannya, maka akan semakin mahal pewarna tersebut.
Warna ungu diproduksi dari moluska bernama Bolinus brandaris yang berasal dari kota Tyre, yang sekarang menjadi bagian dari Lebanon. Sembilan ribu moluska hanya menghasilkan satu gram warna ungu yang disebut sebagai Tyrian purple.
Bahkan karena sangat jarang dijumpai, terkadang seorang penguasa tidak mampu membeli warna ini. Seorang kaisar Romawi abad ketiga, Aurelian, melarang istirnya membeli selendang berwarna ungu karena sangat mahal.
Sampai akhirnya, di tahun 1856, seorang ahli kimia Inggris bernama William Henry Perkin mengubah dunia dengan secara tidak sengaja menemukan warna ungu sintetis ketika sedang bekerja dengan quinine, ubat anti malaria.
Ia kemudian mematenkan warna ungu dengan nama aniline purple dan Tyrian purple. Dan pada tahun 1859, warna ungu yang ditemukan oleh Perkin disebut dengan nama ‘mauve‘, yang merupakan nama dari bunga berwarna ungu dalam Bahasa Perancis.
Sejak saat itu, ungu tidak lagi menjadi warna yang istimewa. Semua orang bisa menggunakan warna ungu karena harganya tidak lagi mahal dan bisa didapatkan dengan mudah.
Sumber: Kumparan